Di sebuah gang kecil, setiap pagi dengan rutinitas yang sama, Susi Mince membuka tempat usaha yang menyatu dengan tempat tinggalnya. Ia sudah terbiasa melayani pelanggan yang sebagian besar adalah kenalan dan keluarganya yang datang untuk membeli keripik pisang buatannya. Buku catatan tipis selalu ada di atas etalase, penuh dengan angka-angka yang ia tulis seadanya.
Namun, seiring waktu, ia mulai menyadari ada sesuatu yang berubah. Pembeli yang datang semakin sedikit, terutama anak-anak muda yang dulu sering mampir. Mereka kini lebih sering memesan produk sejenis lewat aplikasi di ponsel. Susi Mince tetap bertahan dengan cara lamanya, tapi hatinya mulai resah: apakah usahanya akan terus sanggup berjalan hanya dengan mengandalkan pelanggan lama?
Kisah Susi Mince sesungguhnya adalah cermin bagi banyak UMKM di Indonesia. Banyak yang masih enggan beralih ke digitalisasi, entah karena takut ribet, merasa terlalu mahal, atau berpikir bahwa usaha kecil tidak membutuhkan teknologi. Padahal tanpa disadari, masalah-masalah nyata sudah mulai muncul dalam keseharian mereka. Pasar stagnan karena hanya mengandalkan pelanggan sekitar, pencatatan keuangan berantakan karena masih manual, dan peluang pelanggan baru hilang begitu saja karena tidak hadir di platform digital.

Masalah ini sebetulnya bukan hanya soal kemampuan menggunakan teknologi, tetapi soal cara pandang. Menurut teori adopsi inovasi Everett Rogers, orang cenderung terbagi dalam beberapa kelompok: ada yang cepat mencoba hal baru, ada yang menunggu melihat hasil, dan ada pula yang menolak sampai benar-benar terpaksa. Banyak UMKM kita masih berada di kelompok terakhir ini, sehingga baru bergerak ketika kondisi mendesak. Kita semua ingat saat pandemi, ketika banyak usaha terpaksa masuk ke aplikasi delivery karena pelanggan tidak lagi datang langsung. Awalnya mereka ragu, namun setelah mencoba justru omzet meningkat karena pelanggan baru hadir dari dunia digital.
Perubahan memang menakutkan, tapi tidak selamanya harus dimulai dari langkah besar. Justru, banyak kisah sukses UMKM lahir dari perubahan sederhana. Seorang pemilik kedai kopi, misalnya, dulu hanya mengandalkan pelanggan sekitar. Ia akhirnya mencoba mencatat transaksi dengan aplikasi gratis di ponsel. Dari situ ia mulai tahu berapa sebenarnya keuntungan setiap hari, berapa biaya yang membengkak, dan bagaimana caranya mengatur modal. Dengan data sederhana itu, ia bisa mengambil keputusan yang lebih tepat.
Di tempat lain, Tanta Dorkas seorang pedagang rujak, awalnya merasa QRIS hanya untuk usaha besar. Tapi setelah mencoba, ia merasakan pelanggan lebih nyaman membayar tanpa harus mencari uang pas. Keuangannya juga lebih aman karena langsung masuk ke rekening. Tidak berhenti di situ, ia kemudian memberanikan diri bergabung dengan aplikasi pesan antar. Awalnya hanya satu-dua pesanan per hari, lama-lama bertambah hingga puluhan. Sekarang ia bisa melayani pelanggan lama di warung, sekaligus pelanggan baru dari aplikasi.
Cerita-cerita ini menunjukkan bahwa digitalisasi bukan ancaman, melainkan kawan yang bisa membantu usaha kecil tumbuh. Teknologi tidak berarti harus meninggalkan cara lama. Justru, ia menjadi tambahan kekuatan. Usaha tetap bisa melayani pelanggan konvensional dengan cara biasa, sambil memperluas jangkauan dengan cara digital. Bagi UMKM yang masih ragu, pertanyaan paling penting adalah: apakah akan terus menunggu sampai keadaan memaksa, atau mulai mencoba dari sekarang? Langkah kecil seperti menggunakan aplikasi pencatat keuangan, menerima pembayaran digital lewat QRIS, atau memanfaatkan satu media sosial untuk promosi bisa menjadi titik awal perubahan besar. Dari sana, pelaku usaha akan merasakan manfaat nyata: keuangan lebih jelas, transaksi lebih mudah, pelanggan lebih luas.

Kesadaran baru akan lahir bukan dari teori, melainkan dari pengalaman mencoba. Begitu merasakan manfaat, rasa takut dan enggan akan berubah menjadi keyakinan bahwa digitalisasi adalah jalan pertumbuhan. Pada akhirnya, keberanian untuk memulai itulah yang membedakan usaha yang bertahan dan berkembang dengan usaha yang perlahan tertinggal. Di balik semua cerita ini, ada pesan sederhana: dunia terus bergerak, pasar terus berubah, dan konsumen semakin digital.
Jika UMKM tetap bertahan dengan cara lama, maka lambat laun peluang akan terlepas. Tetapi bila berani melangkah, meski sedikit demi sedikit, masa depan yang lebih cerah akan terbuka. Seperti Tanta Dorkas yang akhirnya berani mencoba, setiap UMKM punya kesempatan untuk berubah. Pertanyaannya tinggal, kapan waktunya memulai—menunggu keadaan memaksa, atau mulai beradaptasi hari ini?
By : Adhyt Sa